Keributan dimana-mana, perpecahan pikiran yang selalu terjadi. Tidak pernah mensyukuri, tidak pernah puas, sampai melupakan adanya si buah hati. Hidup di keluarga yang setiap harinya ribut karena hanya masalah sepele, sudah menjadi kebiasaan bagiku. Hal seperti ini sudah merupakan makanan sehari-hariku, tak kenyang karena kelaparan. Tak satupun makanan yang tersedia, kebahagiaan kecil hanya dirasakan diawal saja, sekitar umurku 12 tahun. Tiga tahun berturut-turut ketidakcocokan pikiran sudah sering terjadi. Bahkan aku merasa bahwa akulah penyebabnya, karena mereka sering ribut karena hanya masalah cita-cita atau keinginanku saja.
Aku sering pulang malam, tapi diacuhkan.Tak ada sedikit kekhawatiran sedikit pun dari mereka. Bahkan disaat aku tak berada dirumah, tidak ada yang menanyakan kabarku. Sering aku iri kepada teman-temanku yang sering dikhawatirkan,disayang, dan dimanja-manja. Karena sudah dewasa memang seharusnya aku hidup mandiri, tapi aku tak pernah merasakan kasih sayang mereka lagi, tak ada perhatian kecil dari bibir mereka.
Semua yang menghiasi kamarku, hanya dari teman dan sahabatku saj. tidak ada hadiah satupun dari Ayah dan Ibuku. Untung saja dimasa-masa SMA aku ini, lebih banyak berorganisasi dan mengisi hal-hal positif diluar rumah. Sering ikut bersosialisasi, penyuluhan, bahkan ikut kegiatan-kegiatan para relawan PMI di markasnya.
“Dib, hari ini ada pembukaan
pelatihan Pramuka di SMA 5, kamu mau ikut tidak?” Tanya Yunita.
“Acaranya jam berapa, Yun? Karena
jam 4 sore nanti aku ada kegiatan di markas PMI.”
“Pembukaannya jam 2, nanti kamu
minta izin saja untuk mengikuti kegiatan lain.”
“Oke sajalah, namaku dicatat yah
dalam surat rekomendasi.”
“Sudah pasti Diba.”
Keseharianku
hanya diisi dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Bisa dibilang waktuku hanya
untuk organisasai dan pelajaran sekolah. Boro-boro menghabiskan waktu buat ayah
dan ibu, waktu mereka saja hanya untuk berdebat dan bertengkar terus. Dalam
sehari, dari pagi sampai siang waktu aku di sekolah, pulang sekolah waktu aku
kadang kumpul dengan teman-teman, kadang pula untuk organisasi. Tapi kalau
kegiatan organisasi tidak ada, tujuanku pasti ke markas PMI menghabiskan waktu dengan
kakak di sana dan para relawan. Pukul delapan malam baru aku ada di rumah. Di
kamar, aku belajar dan mendengarkan mereka saling menarik kata-kata.
“Ibuuu!” teriak ayah.
“Ada apa lagi? Kalau mau makan
masak sendiri saja. Uang buat keperluan sehari-hari saja tidak ada.”
“Ayah tidak minta makanan, dimana
ibu simpan baju kantor ayah? Sekarang ada rapat penting.”
“Ibu tidak tau. Yang ibu urus
hanya pakaian Diba saja. Urus pakaian sendiri sana.”
Karena
sudah tak tahan mendengarnya, akhirnya aku angkat bicara.
“Ayah, Ibu! Bisa tidak sehari
saja bahkan sejam biarkan rumah ini tenang? Setiap hari ribut terus. Diba
capek. Kapan kalian akur?” aku menangis, berlari menuju dapur.
“Ya Tuhan, kenapa hidup hamba
harus seperti ini? Kenapa orang tua hamba selalu bertengkar? Hamba tidak
mengerti skenario dari-Mu Tuhan. Hamba hanya tidak pernah menyesal lahir karena
mereka. Ampunilah dosa kedua orang tua hamba.” Doaku dalam hati.
Mendengar
kata-kataku tadi, mungkin ibu sangat tersinggung sehingga memutuskan hal yang
sangat kejam dan berpikir pendek itu. Masalah tidak henti-hentinya menyelinap
di sela-sela kehidupanku. Ibuku bunuh diri. Aku merasa belum pernah mendapatkan
kasih sayang, bahkan belum pernah merasakan lezatnya masakan ibu. Ayahku pun
sekarang depresi karena masalah ini dan masuk rumah sakit jiwa. Untungnya masih
ada yang sayang padaku dan lebih menghargai keberadaanku di dunia ini sebagai
makhluk ciptaan sang Khalik. Para relawan yang bersedia menyekolahkanku dan
menanggung biaya hidupku. Sebagai imbalannya, setiap hari aku membersihkan
markas PMI tersebut. Setiap malampun aku masih menyempatkan untuk menjenguk
ayahku walaupun sekarang ia sudah mulai tidak mengingat apapun tentang aku,
buah hatinya.
Hidup
itu kejam. Tapi semakin kita berikan kasih sayang, maka hidup bisa memberikan
kasih sayang yang sama. Doa dan rasa syukur harus selalu ada. Mendoakan ibu di
alam sana dan bersyukur kaena masih ada ayah.
"Viviana Basri (XI IPA 6)"
0 comments:
Post a Comment