Recent Posts

Sunday 1 February 2015

Gulita

      Masih dengan orang yang sama, hari ini tidak ada yang istimewa. Masih saja matahari terbit dan terbenam, bunga-bunga yang mekar lalu layu, embun yang munculnya pagi dan akhirnya lenyap. Awalnya bahagia dan ujungnya berakhir sedih. Kata-kata yang suka menari di mulut Ayah, serta tingkah Ibu yang makin hari tak senonoh.
      Keributan dimana-mana, perpecahan pikiran yang selalu terjadi. Tidak pernah mensyukuri, tidak pernah puas, sampai melupakan adanya si buah hati. Hidup di keluarga yang setiap harinya ribut karena hanya masalah sepele, sudah menjadi kebiasaan bagiku. Hal seperti ini sudah merupakan makanan sehari-hariku, tak kenyang karena kelaparan. Tak satupun makanan yang tersedia, kebahagiaan kecil hanya dirasakan diawal saja, sekitar umurku 12 tahun. Tiga tahun berturut-turut ketidakcocokan pikiran sudah sering terjadi. Bahkan aku merasa bahwa akulah penyebabnya, karena mereka sering ribut karena hanya masalah cita-cita atau keinginanku saja.
      Aku sering pulang malam, tapi diacuhkan.Tak ada sedikit kekhawatiran sedikit pun dari mereka. Bahkan disaat aku tak berada dirumah, tidak ada yang menanyakan kabarku. Sering aku iri kepada teman-temanku yang sering dikhawatirkan,disayang, dan dimanja-manja. Karena sudah dewasa memang seharusnya aku hidup mandiri, tapi aku tak pernah merasakan kasih sayang mereka lagi, tak ada perhatian kecil dari bibir mereka.
     Semua yang menghiasi kamarku, hanya dari teman dan sahabatku saj. tidak ada hadiah satupun dari Ayah dan Ibuku. Untung saja dimasa-masa SMA aku ini, lebih banyak berorganisasi dan mengisi hal-hal positif diluar rumah. Sering ikut bersosialisasi, penyuluhan, bahkan ikut kegiatan-kegiatan para relawan PMI di markasnya.


“Dib, hari ini ada pembukaan pelatihan Pramuka di SMA 5, kamu mau ikut tidak?” Tanya Yunita.
“Acaranya jam berapa, Yun? Karena jam 4 sore nanti aku ada kegiatan di markas PMI.”
“Pembukaannya jam 2, nanti kamu minta izin saja untuk mengikuti kegiatan lain.”
“Oke sajalah, namaku dicatat yah dalam surat rekomendasi.”
“Sudah pasti Diba.”
            Keseharianku hanya diisi dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Bisa dibilang waktuku hanya untuk organisasai dan pelajaran sekolah. Boro-boro menghabiskan waktu buat ayah dan ibu, waktu mereka saja hanya untuk berdebat dan bertengkar terus. Dalam sehari, dari pagi sampai siang waktu aku di sekolah, pulang sekolah waktu aku kadang kumpul dengan teman-teman, kadang pula untuk organisasi. Tapi kalau kegiatan organisasi tidak ada, tujuanku pasti ke markas PMI menghabiskan waktu dengan kakak di sana dan para relawan. Pukul delapan malam baru aku ada di rumah. Di kamar, aku belajar dan mendengarkan mereka saling menarik kata-kata.
“Ibuuu!” teriak ayah.
“Ada apa lagi? Kalau mau makan masak sendiri saja. Uang buat keperluan sehari-hari saja tidak ada.”
“Ayah tidak minta makanan, dimana ibu simpan baju kantor ayah? Sekarang ada rapat penting.”
“Ibu tidak tau. Yang ibu urus hanya pakaian Diba saja. Urus pakaian sendiri sana.”
            Karena sudah tak tahan mendengarnya, akhirnya aku angkat bicara.
“Ayah, Ibu! Bisa tidak sehari saja bahkan sejam biarkan rumah ini tenang? Setiap hari ribut terus. Diba capek. Kapan kalian akur?” aku menangis, berlari menuju dapur.
“Ya Tuhan, kenapa hidup hamba harus seperti ini? Kenapa orang tua hamba selalu bertengkar? Hamba tidak mengerti skenario dari-Mu Tuhan. Hamba hanya tidak pernah menyesal lahir karena mereka. Ampunilah dosa kedua orang tua hamba.” Doaku dalam hati.
            Mendengar kata-kataku tadi, mungkin ibu sangat tersinggung sehingga memutuskan hal yang sangat kejam dan berpikir pendek itu. Masalah tidak henti-hentinya menyelinap di sela-sela kehidupanku. Ibuku bunuh diri. Aku merasa belum pernah mendapatkan kasih sayang, bahkan belum pernah merasakan lezatnya masakan ibu. Ayahku pun sekarang depresi karena masalah ini dan masuk rumah sakit jiwa. Untungnya masih ada yang sayang padaku dan lebih menghargai keberadaanku di dunia ini sebagai makhluk ciptaan sang Khalik. Para relawan yang bersedia menyekolahkanku dan menanggung biaya hidupku. Sebagai imbalannya, setiap hari aku membersihkan markas PMI tersebut. Setiap malampun aku masih menyempatkan untuk menjenguk ayahku walaupun sekarang ia sudah mulai tidak mengingat apapun tentang aku, buah hatinya.
            Hidup itu kejam. Tapi semakin kita berikan kasih sayang, maka hidup bisa memberikan kasih sayang yang sama. Doa dan rasa syukur harus selalu ada. Mendoakan ibu di alam sana dan bersyukur kaena masih ada ayah.
 


"Viviana Basri (XI IPA 6)"

0 comments:

Post a Comment